MAKALAH
SEJARAH INDONESIA ZAMAN PENGARUH
BARAT
Tentang
“EKSPANSI KOLONIAL KELUAR JAWA
(1850-1870)”

Disusun oleh kelompok 5:
DARMA
YANTI 14046001
ERDA
FITRIYANI 14046066
FIRTA
RAHMADENI 14046005
FITRIYANI 14046017
MUHAMMAD
RIZQY KHALIK AS 14046038
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Negara penjajah yang ingin merebut
dan menguasai tanah diluar jawa salah satunya adalah Belanda. Salah satu faktor
yang mendorong kedatangan Belanda ke luar jawa adalah factor ekonomi yaitu
untuk mendapatkan tanah jajahan baru. Salah satu daerah diluar pulau jawa yang
ingin dikuasai belanda yaitu jambi salah satu daerah yang mempunyai sumber daya
alam berupa rempah-rempah yang melimpah. Itulah yang membuat bangsa belanda
ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi dengan ketangguhan dan kegigihan
Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah jambi.
Pada perlawanan siak, Ekspansi
kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tak mampu dihadang oleh
Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan
Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu
juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor,
yg berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan
kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan
Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.
2.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana
proses Ekspansi Kolonial di Sumatera?
b. Bagaiman proses Ekspansi Kolonial di Kalimantan?
c. Bagaiman proses Ekspansi Kolonial di Sulawesi?
BAB
II
PEMBAHASAN
“Ekspansi
Kolonial Keluar Jawa 1850-1870”
A.
Di Sumatera
1. Riau
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau
Sumatera tak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya
Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul
Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan
seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yg berada dalam perlindungan
Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda
di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.[1]
selain itu Belanda juga mempersempit wilayah
kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda
yg berkedudukan di Tanjung Pinang. Penguasaan Inggris atas Selat Melaka,
mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru
mengganti perjanjian yg telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819.
Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit
antara wilayah kerajaan kecil lainnya yangg mendapat perlindungan dari Inggris.
Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak
sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, sesudah memaksa
Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian
tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap
pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya
dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta
melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan
Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda. Perubahan peta politik atas
penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan
persaingan dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan
Siak atas wilayah-wilayah yg pernah dikuasainya.
2. Kesultana Jambi
Jambi dengan luas area 205,38 km2
dan 185 km panjang. Dan letak geografis yang strategis yaitu bersebelahan
langsung dengan selat malaka yang merupakan jalur perdagangan Eropa Asia yang
sangat vital pada waktu itu. Selain itu jambi salah satu daerah yang mempunyai
sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah. Itulah yang membuat bangsa
lain ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi dengan ketangguhan dan kegigihan
Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah jambi. Jadi tidaklah mengherankan
jikalau namanya dikenang dan dikagumi oleh rakyat jambi sebagai orang nomer
satu yang berkontribusi dalam memperjuangkan tanah pilih pusako betuah
Jambi.
Sultan Thaha Syaifuddin, seorang
pahlawan Nasional yang lahir di Jambi pada tahun 1816 di lingkungan istana Tanah
Pilih Kampung Gedang kerajaan Jambi.[2]Merupakan sosok yang tak
pernah gentar dalam membela tanah air. Secara tegas dan berani beliau
menyatakan penolakan terhadap kekuasaan pemerintah Belanda.[3]
Di masa putra mahkota ini hidup,
jambi telah memiliki sejarah perjuangan yang cukup lama. Pada awal abad ke-19
atau pada saat dia dilahirkan tahun 1816, pemerintahan kerajaan yang ditampuk
oleh sang ayah ini sudah bercorak islam. Corak lama yang menganut unsur
Hindu-Buddha telah ditinggalkan. Sejak awal abad ke-19 itu pula, sisa kejayaan
Sriwijaya dan Singasari maupun Majapahit yang pernah mampir di jambi sebelumnya
telah berubah total. Bentuk kerajaan pun diubah menjadi kesultanan. Dan, Sultan
Fachruddin, ayah sultan taha yang pemerintahannya selalu di bawah tekanan
Belanda, menjadi sultan Jambi pertama yang beragama islam.
Sebab Perang
Belanda sebelumnya telah berhasil
menekan sang Sultan untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya harus
mengakui hak serta kekuasaan penjajah dalam perdagangan di wilayah jambi.
Tindakan yang merugikan jambi ini memang tak kuasa ditolak oleh Sultan
Fachruddin kala masih hidup. Karenanya sebagai penerus pemerintahannya, Sultan
Taha menghadapi tugas mahaberat. Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan
terus berontakmelihat sikap belanda dan VOC yang akan mengambil kekuasaan penuh
yang ditinggalkan ayahandanya. Dia ingin agar jambi dapat kembali menjadi
kesultanan yang berdaulat penuh atas rakyatnya. Maka untuk memulihkan kondisi
semula, tindakan pertama yang akan dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan
kepada sang paman, Sultan Abdurachman.
“Paman Sultan, aku sama sekali tak
dapat menerima tindakan belanda ini. Aku tak suka bila jambi terjual begitu
saja kepada kekuatan asing. Sanggupkah kita melawan mereka sekarang paman?”. “Benar,
Ananda Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat ke medan
tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Belanda. Untuk
itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika kita mengadakan
hubungan dengan bangsa Amerika? Sebentar lagi kaum pedagang asing itu akan
datang ke jambi untuk mencari rempah-rempah”. Tepat sekali saran paman. Dengan
pegabungan dua kekuatan nantinya, sekaligus aku akan mengeluarkan pula maklumat
untuk tak mengakui perjanjian lama yang pernah ditandatangani oleh ayahanda
dahulu. Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di palembang pun pihak sultan
setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini kesempatan bagi jambi
untuk mengacaukan mereka.”
Jalannya
perang
Menjelang perlawanan besar itu tiba,
pihak jambi dan Belanda tiba-tiba serentak dibuat kaget. Sultan merasa kaget
karena para pedagang Amerika yang akan siap membantunya telah ditangkap Belanda
sebelum mengadakan aksi penyerangan. Rahasia ini bocor akibat laporan dari
sultan Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor
dua sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun akan
diangkat menjadi sultan pula oleh Belanda. Di sisi lain, Belanda ternyata lebih
kaget lagi. Pasalnya, bangsa penjajah ini tak menduga bahwa di samping
perlawanan besar. Sultan Taha yang memimpin pasukan Jambi menyodorkan pula
maklumatnya. Sultan Taha menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat yang
dibuatnya sama sekali tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu
membujuk sang Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama. Namun,
harapan Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun
berlangsung dengan kekalahan di pihak Belanda.
Namun, meskipun Jambi berhasil
memperoleh kemenangan besar, hati Sultan sangat sedih. Pamannya, sultan
Abdurachman, tewas. Sementara pamannya yang lain, yaitu paman sultan
Nachruddin, kini berada di pihak Belanda dan secara tak langsung tuk mengakui
pula Sultan Taha sebagai Sultan Jambi ke-3. Kemenangan ini sekaligus telah
memecah dua bagian isi kesultanan Jambi. Namun, Sultan Taha terus memimpin
rakyat. Kebencian terhadap pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia
lebih dekat lagi mengikis habis bentuk penindasan serta penjajahan di bumi
Jambi.
Akhirnya, Sultan Taha berhasil
melaksanakan niatnya. Dia memimpin pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris
Siginje. Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir.
Dia di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat.
Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu, dibantu
oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad,
yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat. Sementara itu, pihak Belanda
menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan dipakai menebus
kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari Palembang.
Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian
terjadilah perang kedua. Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan
Taha terpaksa meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke
wilayah Muara Tembesi.
Bersama sisa-sisa pengikut setianya,
dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda
sebagai sultan baru yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau
mengakuinya. Pusaka keris Sigenje yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja
masih ada di tangan Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan
pasal perjanjian baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC,
pihak rakyat jambi tetap memihak kepada Sultan Taha. Untung saja menyadari
posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi sebagai sultan
baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda
pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat
nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia
pun menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan
yang disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha.
Kemudian, dengan diam-diam pula
tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan Nachruddin segera memindahkan
pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang
lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi
pusat kegiatan gerilya Sultan Taha. Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai
waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad
untuk bersatu padu kembali membela tanah jambi itu. Perlawanan demi perlawanan
pun terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga. Dikabarkan, pihak
jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya hingga
mencapai usia 85 tahun dan tetep tak mengakui kehadiran Belanda maupun
organisasi dagangnya, VOC.
Akhir perang
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin
terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu
di seluruh wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi,
Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi
terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah
sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah. Tetapi
bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak didukung oleh
persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi di wilayah
Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji yang di buat
Belanda. Kala itu, Belanda telah sempat memperluas kekuasaannya dengan kisah
perjuangan yang cukup itu. Akhirnya sang sultan mengasingkan diri di sebuah
daerah Tebo, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai pahlawan
yang tak pernah lelah mengusir penjajah dari tanah jambi. Bahkan pemerintah pun
tak pernah menghapus nama besarnya dan bumi Jambi. Dan, sebagai tanda
penghormatan dari pemerintah, kini nama Sultan Taha tersebut terukir abadi
sebagai nama bandar udara dan salah satu perguruan tinggi di provinsi tersebut.[4]
B. Di Kalimantan
1. Perang Banjar
(1859-1905)
Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga
orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat,
Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata
salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat
dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada
Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi
sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar
mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera
Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam
pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda
dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda
dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir
harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir,
Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama
Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil Pangeran Antasari
tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda.
Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama,
dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya
melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan
akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya
dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh
rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan,
khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan
Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh
Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal
Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda.
Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi
Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayatullah karena ia
adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda
tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat
Pangeran Hidayatullah menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda
terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan
kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah
wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk
memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar,
Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk
pangeran Hidayatullah yang menjabat sebagai Mangkubumi. Pada pertengahan April,
dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari
mengajak Pangeran Hidayatullah untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap
Belanda.
Pangeran Antasari
Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859,
Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan
merebut benteng Pengaron sekaligus lokasi tambang Nassau Oranje milik Belanda,
benteng diserbu bersama Panglima Perangnya Demang Lehman. Pertempuran di
benteng Pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan
yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Haji Buyasin,
Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Sisa Benteng Pengaron
Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan
Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29
september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember
1859, pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung
Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di
Sungai Barito.
Lukisan Benteng Tabanio
Sementara itu Pangeran Hidayatullah makin jelas
menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayatullah
menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi
menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan
Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan
para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari
bersama-sama pangeran Hidayatullah, langsung memimpin pertempuran di berbagai
medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan
Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran
Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin
pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya
Pangeran Hidayatullah menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat.
Pangeran Hidayatullah
Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan
umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai
pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar.
Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi
di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13
Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk
Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan
bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari
menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’. Tidak ada alasan lagi bagi
Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan
kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia
sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima
Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara
pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di
berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia
dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan
akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh.
Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh
diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti
Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri),
Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan
Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal
11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari)
wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan
berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman,
Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864,
pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang
bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung
Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur
banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun
1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima
Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu
Khalifah, Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866
diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai
tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di
Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras
Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir
tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan
adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan
jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin.
C. Di Sulawesi
Tahun 1816 Belanda kembali datang ke Sulawesi
(Selatan). Kembalinya Belanda ke Sulawesi Selatan tidaklah merubah sikap
penentangan negara- negara Bone, Ternate dan Suppa terhadap kekuasaan asing.
Sedangkan Gowa hanya menghadapi kekuasaan asing dengan cara bersikap lunak.[5]
Kekuasaan Belanda si Sulawesi selatan tidak cukup
mampu untuk menekan sama sekali kekuasaan raja- raja kerajaan di Sulawesi
Selatan. Sulawesi (Selatan) sangat sulit untuk dikuasai oleh Belanda. Ketika
Gubernur Jenderal Van der Capelen tiba di Makasar pada bulan Agustus 1824, ia
melihat bahwa kekuatan pasukan Belanda disana hanya terdiri daari 30 orang
opsir dan 371 orang serdadu. Sehingga penguasa kolonial melakukan pendekatan
kepada raja- raja yang mau berpihak kepadanya.
Dalam perkembangan berikutnya penguasa kolonial
Belanda berkehendak untuk melakukan perubahan terhadap isi perjanjian Bongaya.
Namun keinginan ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari raja- raja di
Sulawesi. Bahkan mereka berusaha menghalangi usaha penanaman kekuasaan Belanda
di seluruh wilayah Sulawesi (Selatan).
Adanya ketidakseimbangan kekuatannya dengan Belanda
raja La Patau mengundurkan diri ke daerah pedalaman yang lebih aman. Tahta
kerajaan diserahkannya kepada seorang saudara perempuannya yang bernama Da Eng
Taningsanga. Raja ini bersedia mendatangani perjanjian perubahan perjanjian
Bongaya.
Pada 4 Agustus 1824 pasukan Belanda di bawah pimpinan
Letnan Laut Buys mendarat di Pare- pare. Kedatangan mereka disambut oleh
pasukan Suppa dengan perlawanan yang kuat. Dalam pertempuran ini pasukan
Belanda memperoleh bantuan dari pasukan Sidenreng. tetapi pasukan Belanda tidak
berhasil menaklukkan pasukan- pasukan Suppa.
Penyerangan ke Suppa dilakukan lagi pada bulan Agustus
1824. Dalam penyerangan ini Belanda berhasil mempertahankan diri dari serangan
yang dilakukan oleh pasukan Suppa. Walaupun demikian Belanda harus menerima
kenyataan pahit yaitu beberapa perwiranya tewas dalam petempuran tersebut.
Dalam bulan Oktober pasukan Bone menyaksikan gerakan
yang dilakukan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan kapten Le Clerq. Gerakan
pasukan ini dihadang oleh pasukan Bone dan terjadilah pertempuran di antara keduanya.
Dalam pertempuran ini pasukan Bone memperoleh kemenangan dan menguasai jalan
penting yang menghubungkan Makassar dan Maros yang terletak di sebelah utara
Makssar.
Bone merupakan lawan yang cukup kuat bagi Belanda,
sehingga Belanda melakukan pengiriman ekspedisi militer besar- besaran untuk
mengalahkan perlawanan yang dilakukan oleh Bone..
Akhirnya Belanda mengirimkan ekspedisi yang
berkekuatan besar yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Geen. Tugas utamanya
ialah memperbesar kekuatan pasukan Belanda. Tanggal 20 Januari 1825 Van Geen
telah berada di Makassar dan menyiapkan rencana pemberangkatan pasukan
ekspedisinya. Dalam persiapan ekspedisi ini ternyata Van Geen mengalami
kesulitan karena perlengkapan yang sangat
terbatas dan kesehatan sejumlah prajuritnya yang sangat buruk.
Akhirnya pasukan Van Geen begerak ke daerah Selatan,
kemudian berhadapan dengan pasukan Bone yang berkedudukan di Bonthain. Dalam
pertempuran ini pasukan Belanda berhasil mendesak pasukan Bone. Pertahanan Bone
di Bulukumba terpaksa ditinggalkan dan berhasil diduduki oleh pasukan Belanda.
Pertempuran terjadi ketika pasukan Bone yang
berkedudukan di benteng- benteng Kajang dan Sinjai mendapat serangan dari
Belanda. Semuanya benteng Kerajaan Bone ini pada akhirnya jatuh ke tangan
Belanda. Untung menjaga benteng- benteng yang telah diduduki Belanda
menggunakan tenaga bantuan dari Gowa dan Maluku.
Faktor yang menyebabkan lemahnya kekuatan Bone ialah
diserahkan kedudukan raja Ternate kepada seorang wanita yang berpihak kepada
Belanda. Dengan demikian Ternate dapat dijadikan sekutu Belanda. Negara Segeri
tetap melakukan perlawanan terhadap penduduk Belanda.
Salah seorang pemimpin perlawanan yang terkenal dan
sangat disegani ialah La Samenggu Daeng Kalabbu. Akan tetapi pada akhirnya perlwaanan
itupun berhasil dipatahkan oleh Belanda.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ekspansi kolonialisasi Belanda di luar Jawa terjadi di
beberapa daerah, Yakni di Sumatera tepatnya di Riau dan Kesultanan Jambi, di
Kalimantan terjadi Perang Banjar dan ekspansi kolonialisasi juga terjadi di
Sulawesi. Adapun faktor yang mendorong kedatangan Belanda ke luar jawa seperti
di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi tidak lain adalah factor ekonomi yaitu
untuk mendapatkan tanah jajahan baru dan ingin menguasai daerah yang mempunyai
sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah.
DAFTAR
PUSTAKA :
Hand out Zul
Asri,sejarah Indonesia zaman pengaruh barat
Kartodirdjo,sartono.1987.
pengantar sejarah Indonesia baru, jilid 1. 1500-1900.jakarta:PT gramedia
Gamal
Komandoko “Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara
Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia (2004.
hlm. 41 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar